Diposkan pada Journal Reading, Tugas lain-lain

Journal Penatalaksanaan Non-bedahPada Hematom Subdural Kronis Dengan AsamTranexamat (Yuritsa)

Penatalaksanaan non-bedah pada hematoma subdural kronis dengan asam traneksamat

Hiroshi Kageyama, M.D., Terushige Toyooka, M.D., D.M.Sc., Nobusuke Tsuzuki, M.D., D.M.Sc., and Kazunari Oka, M.D., D.M.Sc

 

Tujuan: Hematoma subdural kronis (CSDH) merupakan keadaan yang sering ditemukan setelah trauma kepala. Keadaan ini seringkali dapat berhasil diobati dengan pembedahan melalui penempatan burr hole dan mengalirkan hematoma yang telah mengalami likuifaksi. Namun, sepengetahuan penulis, untuk kasus-kasus tidak darurat yang tidak membutuhkan operasi, tidak ada laporan yang telah menunjukkan pendekatan terbaik yang dapat dilakukan untuk mencegah pembesaran hematoma atau sepenuhnya dapat menyembuhkan keadaan ini. Penulis berhipotesis bahwa hiperfibrinolisis memainkan suatu peran yang penting dalam likuifaksi hematoma. Oleh karena itu, mereka mengevaluasi kemampuan suatu obat antifibrinolitik, yaitu asam tranelsamat, untuk sepenuhnya menyembuhkan CSDH yang dibandingkan dengan operasi burr hole saja.

Metode: dari tahun 2007 hingga 2011, sejumlah 21 pasien penderita CSDH yang ditemukan secara berturut-turut di Rumah Sakit Umum Kuki, Jepang, diberikan asam traneksamat 750 mg per oral setiap hari. Pasien diidentifikasi melalui tinjauan rekam medik retrospektif, yang mana melalui rekam medis ini dilakukan pengumpulan data mengenai volume hematoma (berdasarkan pengukuran radiografi) dan tiap komplikasi yang ada. Tindak lanjut atau follow up untuk tiap pasien terdiri atas pemeriksaan CT atau MRI setiap 21 hari setelah didiagnosis hingga terjadinya resolusi CSDH.

Hasil. Dari 21 pasien, 3 dengan CSDH stadium dini ditatalaksana dengan tindakan burr hole sebelum menerima terapi obat-obatan. Median durasi follow up klinis dan radiografi adalah 58 hari (rentang: 28 – 137 hari). Sebelum terapi asam traneksamat dimulai, median volume hematoma untuk 21 pasien adalah 58.5 ml (rentang 7.5 – 223.2 ml); untuk 18 pasien yang tidak menjalani operasi, median volume hematoma adalah 55.6 ml (rentang 7.5 – 140.5). Setelah terapi, median volume untuk keseluruh 21 pasien adalah 3.7 ml (rentang 0-22.1 ml). Tidak ada hematoma yang mengalami kekambuhan atau memburuk.

Kesimpulan: hematoma subdural kronis dapat diobati dengan asam traneksamat tanpa disertai dengan operasi. Asam traneksamat dapat secara bersamaan menghambat sistem fibrinolitik dan inflamasi (kinin-kallikrein) yang mungkin sebagai akibatnya akan berhasil menyembuhkan CSDH. Terapi medis ini dapat mencegah CSDH stadium dini yang dapat terjadi setelah trauma kepala dan kekambuhan CSDH setelah operasi.

Kata kunci: Hematoma subdural kronis, asam traneksamat, fibrinolisis, sistem kallikrein, cidera otak traumatika.

 

Hematoma subdural kronis (CSDH) merupakan keadaan yang sering ditemukan setelah trauma kepala. Keadaan ini seringkali dapat berhasil diobati dengan pembedahan melalui penempatan burr hole dan mengalirkan hematoma yang telah mengalami likuifaksi. Namun, sepengetahuan penulis, untuk kasus-kasus tidak darurat yang tidak membutuhkan operasi, tidak ada laporan yang telah menunjukkan pendekatan terbaik yang dapat dilakukan untuk mencegah pembesaran hematoma atau sepenuhnya dapat menyembuhkan keadaan ini. Saat ini, belum ada penatalaksanaan konservatf yang telah ditetapkan. Resolusi CSDH setelah penatalaksanaan dengan observasi sederhana telah dilaporkan sebagai fenomena yang relatif jarang ditemukan. Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa aktivitas hiperfibrinolitik memainkan suatu peran utama dalam likuifaksi dan pertambahan ukuran CSDH. Kami berhipotesis bahwa asam traneksamat, yang merupakan suatu agen yang memiliki efek samping yang lebih sedikit daripada agen-agen lainnya dan banyak digunakan untuk hemostasis, akan menghambat aktivitas hiperfibrinolitik CSDH. Oleh karena itu, kami menilai pengaruh asam traneksamat terhadap volume CSDH.

 

Metode

Populasi pasien

Kami mengidentifikasi pasien dengan analisis retrospektif terhadap rekam medik dan pemeriksaan neuroradiografi terhadap semua pasien yang datang ke Departemen Bedah Saraf Rumah Sakit Umum Kuki, Jepang, dari tahun 2007 hingga tahun 2011, yang didiagnosis dengan CT scan awal atau gambar MR. Dua ahli bedah saraf (H.K dan K.O) mengevaluasi semua hasil pemeriksaan pencitraan dan gejala-gejala klinis masing-masing pasien. Data diambil dari rekam medis dan CT scan lanjutan dan termasuk data berikut: riwayat trauma pada kepala, hipertensi, infark serebri, penyakit jantung koroner, fibrilasi atrium, trauma, penyakit alzheimer, demensia serebrovaskular, atau riwayat medis lainnya yang signifikan. Informasi mengenai keberadaan hematoma, pemeriksaan neuroradiologi, dan tingkat terapi antiplatelet juga diambil. Pasien yang mengonsumsi warfarin dieksklusikan dari penelitian.

 

Penatalaksanaan

Tiga pasien berada dalam keadaan yang urgensi, dengan herniasi uncal yang membutuhkan operasi burr hole. Kesemua 21 pasien (atau keluarganya) memilih apakah akan menjalani operasi. Terlepas dari apakah operasi dilakukan, semua pasien dengan CSDH yang simptomatik atau asimptomatik diberikan asam traneksamat 750 mg (transamin, Daiichi sankyo; kapsul 250mg) per oral setiap hari. Pemberian asam traneksamat dilanjutkan untuk semua pasien hingga CSDH sembuh sepenuhnya atau cukup berkurang menurut hasil pemeriksaan pencitraan.

 

Evaluasi klinis

Pada kunjungan klinik awal, riwayat klinis digali dan pemeriksaan neurologi dilakukan. Tiap pasien diperiksa setiap 21 hari. Dua ahli bedah saraf (H.K dan K.O) menilai pasien-pasien secara terpisah. Dilakukan pencatatan semua tanda, gejala dan tiap kejadian yang tidak diharapkan.

 

Evaluasi pencitraan

Untuk semua pasien, CT dan/atau MRI tanpa diperkuat kontras (ketebalan irisan 5 mm) dilakukan pada saat diagnosis. Tiap pasien menjalani pemeriksaan CT setiap 21 hari. Pemeriksaan pncitraan akhir dilakukan 21 hari setelah akhir pemberian asam traneksamat. Volume (dalam milimeter) hematom dihitung dari gambar CT atau MR sebelum, selama, dan setelah terapi dengan menggunakan perangkat lunak analisis hasil pencitraan (ImageJ, National Institutes of Health). Ukuran hematoma dihitung berdasarkan hasil pencitraan dan ketebalan irisan.

 

Outcome

Penatalaksanaan dan jangka waktu terapeutik untuk CSDH dicatat untuk semua pasien, tanpa memandang apakah mereka mendapatkan intervensi pembedahan atau tidak. Masing-masing gejala dinilai sebagai “membaik” atau “tidak membaik”. Kategori hematoma adalah sebagai berikut: sembuh (didefinisikan sebagai berkurangnya CSDH dalam jumlah yang cukup menurut pemeriksaan pencitraan); kambuh (didefinisikan sebagai CSDH baru di lokasi yang baru atau di tempat yang sama setelah konfirmasi hilangnya hematoma pada waktu 21 hari setelah kesembuhan); atau memburuk (didefinisikan sebagai perluasan CSDH di lokasi yang sama tanpa kesembuhan atau pengurangan).

 

Hasil

Karakteristik Pasien

Selama masa penelitian, diagnosis CSDH ditegakkan pada 21 pasien, yaitu 12 pria (57%) dan 9 wanita (43%) (Tabel 1), median usianya adalah 79 tahun (54-93 tahun). Dua belas pasien (57%) memiliki riwayat trauma kepala ringan atau berat; 3 (14%) mengonsumsi obat untuk hipertensi; 3 (14%) mengonsumsi obat-obat antiplatelet untuk infark serebri atau penyakit jantung koroner; 2 (10%) menderita fibrilasi atrium namun tidak mengonsumsi obat-obatan antikoagulan apapun; dan 1 (5%) didiagnosis limfoma maligna setelah kemoterapi, namun jumlah platelet dan data mengenai keadaan koagulasi dalam kisaran nilai rujukan.

 

Tabel 1. Karakteristik pasien dan hematoma, jangka waktu pengobatan dan hasil.

No. Ka-sus Usia (tahun), JK Riwayat Gejala Lateralitas hematoma Volume hematoma Op Durasi terapi Hasil
1 72, L Parkinsonisme Tidak ada Kanan 54.2 70  
2 88, P HT, parkinsonisme Gangguan gait, demensia Bilat 223.2 (61.4) + 55 Membaik
3 71, L   Hemiparesis kiri Bilat 96.7 (16.9) + 57 Membaik
4 82, P AF Gangguan gait Bilat 87.4 91 Membaik
5 54, P HL Tidak ada Kiri 18.7 29  
6 91, P Cilostazol Tidak ada Kiri 7.5 58  
7 65, L   Demensia Bilat 122.2 (20.6) 72 Membaik
8 82, L Aspirin Tidak ada Kanan 21.8 58  
9 76, L   Demensia Kanan 31.2 28 Membaik
10 88, L limfoma Tidak ada Bilat 73.5 28  
11 88, P Fraktur lumbal Tidak ada Kiri 32.1 50  
12 75, L   Tidak ada Kanan 29.0 63  
13 92, L Ticlopidine, DM, CHF, AF, OMI Hemiparesis kanan, demensia Kiri 126.1 127 Membaik
14 90, L   Tidak ada Kiri 58.5 137  
15 78, P Kontusio otak Tidak ada Kanan 22.5 28  
16 93, P Demensia, HT Gangguan gait, poliuria Kanan 34.4 56 Membaik
17 70, L Epilepsi Gangguan gait, nyeri kepala Bilat 129.6 59 Membaik
18 69, L   Nyeri kepala Kiri 73.4 70 Membaik
19 67, P AEDH Nyeri kepala Bilat 85.2 127 Membaik
20 79, P Kanker payudara Gangguan gait, demensia Bilat 140.5 99 Membaik
21 82, L Fraktur klavikula Tidak ada Kanan 56.9 28  

*AEDH = hematoma epidural akut; AF = Fibrilasi atrium; CHF = gagal jantung kongestif; DM: Diabetes melitus; HL = Hiperlipidemia; HT = Hipertensi; OMI = infark miokard lama; Op = operasi (penempatan burr hole); + = ya; – = tidak.

† Nilai di dalam tanda kurung menunjukkan volume setelah operasi

‡ Terapi medis dengan asam traneksamat

 

Tampilan klinis

Pada 21 pasien, tidak adanya gejala yang ditemukan pada 10 pasien (48%); bukti akan adanya trauma kepala ringan ditemukan secara tidak sengaja atau melalui scan CT follow up. Untuk 11 pasien lainnya (52%), gejala awal yang sering ditemukan adalah gangguan gaya berjalan (24%), demensia (19%), nyeri kepala (19%), dan hemiparesis (10%).

 

Penatalaksanaan

Operasi burr hole dilakukan pada 3 pasien (14%) (kasus 2, 3 dan7) yang berada pada stadium awal CSDH; asam traneksamat diberikan secara bersamaan. Asam traneksamat saja (tanpa pembedahan) diberikan pada 18 pasien (86%). Dari 18 pasien ini, 8 orang yang menunjukkan adanya gejala-gejala klinis yang jelas memilih terapi asam traneksamat tanpa pembedahan.

 

Pemeriksaan pencitraan

Hematoma ditemukan bilateral pada 8 pasien (38%), di sisi kanan kepala pada 7 pasien (33%), dan di sisi kiri pada 6 pasien (29%). Sebelum terapi, median volume hematoma adalah 58.5 ml (rentang 7.5 – 223.2 ml) (tabel 1). Untuk 18 pasien yang tidak mendapatkan intervensi pembedahan, median volume hematoma adalah 55.6 ml rentang 7.5 – 140.5 ml (Tabel 1). Sebelum terapi tanpa intervensi pembedahan, volume maksimum pada 1 sisi kepala adalah 126.1 ml (Tabel 2). Otak lebih bersifat restoratif dan efusi sisa lebih sedikit ditemukan pada pasien yang mendapatkan terapi asam traneksamat saja dibandingkan pasien yang menjalani operasi burr hole saja.

 

Outcome

Dari seluruh pasien, gejala-gejala klinis membaik sebelum hematoma sepenuhnya berkurang. Untuk semua pasien dengan nyeri kepala yang tidak menjalani operasi, nyeri kepala menghilang dengan cepat pada kunjungan kedua setelah memulai terapi. Kunjungan follow up dilakukan untuk tiap pasien selama median 58 hari (rentang 28-137 hari). Setelah terapi, median volume hematoma pada semua pasien adalah 3.7 ml (rentang 0-22.1 ml). Gambar 1 menunjukkan perubahan volume hematoma pada 18 pasien yang dimasukkan ke dalam kelompok “sembuh’. Tidak ada satupun hematoma yang kambuh atau memburuk. Pada semua pasien penelitian, tidak ditemukan adanya kejadian yang tidak diharapkan, termasuk kejadian tromboemboli; oleh karena itu, asam traneksamat tidak dihentikan untuk alasan kematian atau kejadian yang tidak diharapkan yang berat.

Tabel 2. Volume hematoma sebelum dan setelah terapi asam traneksamat

 

Gambar 1. Perubahan volume hematoma pada 18 pasien yang mendapatkan terapi asam traneksamat namun tidak menjalani operasi. Pedoman mengenai bagian kanan grafik menyajikan pasien berdasarkan nomor kasusnya

 

Pasien pada kasus 19 mewakili kasus yang umum ditemukan pada penelitian ini (gambar 2). Pasien adalah seorang wanita berusia 67 tahun yang mengalami hematoma epidural akut pada sisi kanannya. Hematoma diangkat melalui kraniotomi kecil, dan pasien dipulangkan dari rumah sakit 2 bulan berikutnya. Satu bulan setelah dipulangkan, ia mengeluhkan nyeri kepala. Pemeriksaan tomografi terkomputerisasi menunjukkan adanya hematoma yang tipis pada sisi kanan kepalanya dan hematoma yang tebal pada sisi kirinya. Asam traneksamat kemudian diberikan, yang  mana setelah itu hasil pencitraan neurologi menunjukkan hasil yang bervariasi; awalnya densitas menurun dan kemudian hematoma berkurang. Hematoma sepenuhnya hilang 4 bulan selanjutnya.

Pasien pada kasus 13, yang merupakan seorang pria berusia 92 tahun yang mendapatkan ticlopidin untuk infark miokard lama, mengalami CSDH dengan ukuran maksimum pada 1 sisi; ia tidak menjalani intervensi pembedahan (Gambar 3). Setelah jatuh, ia menderita fraktur tulang iga, dan 2 minggu setelahnya, terjadi hemiparesis kanan dan demensia. Kami menganjurkan untuk melakukan operasi burr hole, namun ia menolaknya. Hematoma masif diobati dengam asam traneksamat tanpa operasi dan sembuh sepenuhnya setelah 4 bulan (gambar 4).

Satu pasien dengan CSDH tidak diobati dengan asam traneksamat. Pasien ini adalah seorang pria berusia 81 tahun yang mengalami lebam pada kepala setelah mengalami jatuh akibat mabuk-mabukkan. Perdarahan subarachnoid traumatika dan hematoma subdural akut yang tipis terjadi. Perdarahan dan hematoma tidak memburuk. Karena ia mengalami perburukan dalam hal demensia, ia dipindahkan ke rumah sakit jiwa. Follow up 1 bulan kemudian di Rumah Sakit Umum Kuki menunjukkan bahwa gejala neurologinya tidak berubah; namun, CT scan menunjukkan adanya CSDH pada sisi kirinya (gambar 5A).

Gambar 2. Kasus 19. Gambar CT yang diperoleh setelah pemulaian terapi asam traneksamat. A: Hari 1. B: Hari 28. C: Hari 78. D: Hari 127.

 

Ia diperiksa di rumah sakit jiwa oleh seorang dokter spesialis kejiwaan tanpa mendapatkan pengobatan asam traneksamat. Setelah satu bulan berikutnya, ia menjadi somnolen, mengalami nyeri kepala hebat, dan memperlihatkan postur dekortikasi pada lengan dan kaki kirinya. Ia dibawa dengan ambulans ke RS umum Kuki, dimana CT scan menunjukkan pembesaran CSDH kiri dan kompresi batang otak (Gambar 5B). Setelah operasi burr hole darurat, kesadarannya pulih sepenuhnya.

Kasus ini memberikan contoh mengenai bagaimana penatalaksanaan dengan observasi sederhana untuk CSDH asimptomatik mungkin tidak bersifat tanpa risiko.

 

Pembahasan

Hingga saat ini, terapi obat-obatan untuk CSDH belum menjadi fokus utama dalam bedah saraf. Saat mengobati suatu CSDH, umumnya dipilih 2 model penatalaksanaan: observasi untuk pasien asimptomatik dan drainase hematom untuk pasien-pasien simptomatik. Namjn, pemulihan spontan CSDH jarang dilaporkan dan angka rekurensi yang dilaporkan setelah operasi untuk CSDH adalah sekitar 5% – 30%. Beberapa penelitian telah menggambarkan adanya resolusi spontan CSDH. Horikoshi dkk meninjau sejumlah penelitian dan melaporkan bahwa 2.4 %- 18.0% dari kasus-kasus CSDH hilang secara spontan tanpa operasi atau intervensi medis. Dalam penelitian kami, semua kasus CSDH yang diobati dengan asam traneksamat mengalami kesembuhan, yang menunjukkan adanya resolusi yang lebih sering pada pasien yang diberikan tindakan penatalaksanaan medis dibandingkan tidak diberikan penatalaksanaan sama sekali.

Gambar 3. Kasus 13. Gambar CT pada hari 1, pada permulaan terapi asam traneksamat

 

Patofisiologi terjadinya CSDH belum diteliti sepenuhnya; hanya sedikit penelitian yang telah meneliti keadaan ini. Namun, aktivitas hiperfibrinolitik telah terbukti bersifat sangat penting untuk likuifaksi hematoma dan perkembangan CSDH. Beberapa penelitian telah menunjukkan aktivitas hiperfibrinolitik dan koagulatif pada CSDH dan beberapa telah menunjukkan bahwa peningkatan permeabilitas kapiler pada membran luar hematoma dapat mempengaruhi pembesaran CSDH. Plasmin bekerja secara bersamaan pada sistem fibrinolitik dan kalikrein (Gambar 6). Karena sistem kalikrein menginduksi inflamasi, permeabilitas pembuluh darah akan meningkat. Fujisawa dkk menunjukkan aktivasi sistem kalikrein pada hematoma dan membran luarnya secara biokimia dan histologi. Asam traneksamat merupakan obat antifibrinolitik yang menghambat aktivasi plasminogen dan aktivitas plasmin. Obat ini merupakan derivat asam amino lisin dan menghasilkan pengaruh antifibrinolitik dengan cara berikatan secara reversibel pada tempat lisin di plasminogen. Obat ini menginaktivasi plasminogen. Oleh karena itu, kami berhipotesis bahwa asam traneksamat mungkin menghambat aktivitas hiperfibrinolitik dan meningkatkan permeabilitas pembuluh darah, yang sebagai akibatnya akan memungkinkan hematoma untuk terserap secara perlahan tanpa perluasan (Gambar 6).

Efek samping asam traneksamat bersifat ringan dan jarang terjadi; sebagian pasien mengalami gejala-gejala gastrointestinal. Pengaruh hemostatik asam traneksamat dapat menyebabkan kejadian iskemik. Pada tahun 1984, Kassell dkk melaporkan bahwa angka defisit iskemik meningkat di kalangan pasien-pasien yang mendapatkan terapi antifibrinolitik selama penatalaksanaan perdarahan subarachnoid.

Gambar 4. Kasus 13. Gambar CT pada 4 bulan setelah memulai terapi asam traneksamat

 

Dalam suatu uji klinis terkontrol acak yang lebih terbaru yang menilai pengaruh asam traneksamat terhadap perdarahan intrakranial pada pasien dengan cidera otak traumatika, kejadian tromboemboli serebrovaskular tidak terjadi lebih sering pada kelompok yang mendapatkan asam traneksamat dibandingkan dengan kelompok yang mendapatkan plasebo.  Namun dalam suatu tinjauan sistematis terbaru dan kumpulan metaanalisis yang menilai pengaruh asam traneksamat, pengaruh asam traneksamat terhadap kejadian tromboemboli dan kematian tidak dapat disimpulkan.

Penelitian kami memiliki beberapa keterbatasan. Pertama, ini merupakan analisis retrospektif, bukan merupakan penelitian acak terkontrol. Kedua, peneliian ini mengeksklusikan pasien-pasien CSDH yang mengonsumsi antikoagulan: sehingga pemakaian antikoagulan dan asam traneksamat secara bersamaan perlu dinilai dengan seksama. Ketiga, karena semua pasien adalah orang Jepang, kesimpulan yang dapat ditarik dari temuan ini bersifat terbatas. Selain itu, beberapa penelitian telah menilai pengaruh penatalaksanaan asam traneksamat jangka panjang.

 

Gambar 5. Gambar CT dari seorang pasien dengan CSDH yang diobati hanya dengan observasi. A. Hari 1. B: Bulan 1.

 

Kesimpulan

Pada beberapa pasien, asam traneksamat dapat digunakan secara aman sebagai terapi medis utama, tanpa intervensi operasi, untuk mencegah perkembangan CSDH.  Asam traneksamat dapat bekerja melalui sistem antifibrinolitik dan antiinflamasi (kinin-kallikrein). Terapi medis ini bersifat efektif; kekambuhan CSDH jarang dilaporkan dan efusi subdural lebih sedikit terjadi, meskipun dibutuhkan jangka waktu pemberian dalam jangka panjang.

Gambar 6. Sistem fibrinolitik dan sistem kallikrein. FDP = Produk degradasi fibrin; HMW = Berat molekuler yang tinggi

 

Tinggalkan komentar